Indonesia Maju Berbasis Potensi Lokal

Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-74 Kemerdekaan Republik Indonesia yang jatuh pada 17 Agustus dan peringatannya digelar serentak di berbagai belahan Bumi Nusantara, merupakan momentum bersejarah. Sebab, eksistensi bangsa terwujud, dan bebas dari kungkungan penjajah, setelah adanya proklamasi kemerdekaan sekaligus sebagai bentuk pernyataan bahwa Indonesia sudah tidak tidak terikat dengan negara manapun, merupakan negara yang merdeka, berdaulat dan mengatur tata kelola pemerintahan secara mandiri pula.

Tentu saja, bagi rakyat Indonesia, memperingati Hari Kemerdekaannya bukan hanya mengenang peristiwa bersejarah yang terjadi di masa lalu, namun juga bisa dimaknai mensyukuri atas karunia yang telah diterimanya. Kemerdekaan yang dirayakan segenap lapisan masyarakat di seantero Nusantara, tidak hanya bermakna politis, karena Indonesia bebas dari penjajahan lalu merayakannya dengan berbagai jenis kegiatan, akan tetapi disatu sisi juga bermakna teologis.

Pandangan teologis ini misalnya sebagaimana yang telah tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea ketiga yang menyebutkan bahwa, "atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya". Alinea ini merupakan alinea penghubungan pada nilai-nilai filosofis bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam lima sila yang menjadi dasar negara kita, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. [Baca Juga: Pamekasan Terapkan Penanganan Bencana Terintegratif]

Dengan demikian, maka konsepsi teologis dan ideologi bangsa yang berorientasi pada nilai-nilai keberagaman, Ketuhanan Yan Maha Esa dan kebhinnekaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam persatuan dan kesatuan merupakan cita ideal yang hendak diwujudkan para pendahulu bangsa kita melalui kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 lalu.

Menyambut, memeriahkan, dan merayakan kemerdekaan bangsa ini yang biasa digelar selama bulan Agustus setiap tahunnya, dimaksudkan sebagai upaya untuk mengingatkan sejarah perjuangan bangsa oleh para pejuang pendahulu bangsa ini, untuk mengobarkan semangat nasionalisme.

Ada misi politik, sosiologis dan teologis yang hendak dibangunan melalui kegiatan perayaan memperingati HUT Kemerdekaan RI. Misi politik yang dimaksud adalah menyuarakan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara yang berdaulat dan mampu membebaskan diri dari penjajahan pada 17 Agustus 1945, sedangkan misi sosiologis dalam rangka merekatkan kembali hubungan dan dinamika kebangkaan, bahwa beragam jenis masyarakat yang ada di negeri yang terpadu menjadi satu kesatuan, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). [Baca Juga: Karnaval Budaya Meriahkan HUT Kemerdekaan RI di Pamekasan]

Sedangka misi teologis yang hendak digugah melalui momentum perayaan tahunan yang juga sering disebut dengan istilah "Agustusan" oleh sebagian masyarakat, adalah pada sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila ini meneguhkan, bahwa masyarakat nusantara yang tergabung dalam negara yang bernama Indonesia ini adalah masyarakat berkepercayaan atau ber-Tuhan (teologis), bukan anti-Tuhan (atheis).

Misi, dan tiga prinsip dasar (politik, sosiologis dan teologis) itulah yang setidaknya menjadi dasar pijakan, mengapa menyambut HUT Kemerdekaan Bangsa Indonesia setiap tahunnya perlu disambut meriah oleh seluruh lapisan masyarakat di Indonesia.

Kegembiraan sebagai bangsa yang berdaulat, bangsa yang mampu mengatur tata kelola pemerintahan secara mandiri tanpa intervensi dari negara lain harus dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, termasuk generasi muda saat ini. Sebab komitmen kuat akan visi dan misi dan ideologi sebuah bangsa, salah satunya melalui dorongan emosional positif, seperti yang biasa dilakukan masyarakat dan pemangku kebijakan di negeri ini.

Nasionalisme dengan Identitas Lokal
Keragaman budaya, adat istiadat, serta potensi lokal di masing-masing daerah, merupakan identitas sejati dari sebuah bangsa yang berbudaya, bangsa yang menjadikan keragaman sebagai kekuatan dan potensi dasar dalam meraih kemerdekaan.

Dengan demikian, maka pengakuan atau eksistensi akan ke-Indonesia-an dari masyarakat di suatu daerah, tidak harus sama dengan daerah lain. Artinya, agar bisa diakui sebagai bangsa Indonesia, orang Madura tidak perlu menjadi orang Aceh, Sumatera atau orang Kalimantan, karena Indonesia ada, karena negara ini memang terdiri dari suku bangsa yang beragam ini. Hasil sensus Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 menyebutkan, di Indonesia ada lebih dari 300 kelompok etnis dan sebanyak 1.340 suku bangsa. [Baca Juga: Pamekasan Raih Penghargaan Sebagai Kabupaten Layak Anak]

Suku Jawa, demikian catatan data BPS tersebut, merupakan kelompok suku terbesar di Indonesia dengan jumlah mencapai 41 persen dari total populasi. Orang Jawa kebanyakan berkumpul di Pulau Jawa, akan tetapi jutaan jiwa telah bertransmigrasi dan tersebar ke berbagai pulau di Nusantara, bahkan bermigrasi ke luar negeri seperti ke Malaysia dan Suriname. Suku Sunda, Suku Batak, dan Suku Madura adalah kelompok terbesar berikutnya di negara ini. Banyak suku-suku terpencil, terutama di Kalimantan dan Papua, memiliki populasi kecil yang hanya beranggotakan ratusan orang. Sebagian besar bahasa daerah masuk dalam golongan rumpun bahasa Austronesia, meskipun demikian sejumlah besar suku di Papua tergolong dalam rumpun bahasa Papua atau Melanesia.

Data BPS ini, setidaknya menunjukkan bahwa Indonesia sejatinya kaya akan keberagaman, sehingga kekayaan harus terus terpelihara dengan baik, karena fakta sejarah menunjukkan, bahwa kemerdekaan Indonesia dan keinginan merdeka dari kungkungan penjajah, bukan hanya oleh kelompok atau suku dan etnis tertentu saja, akan tetapi, berkat kekompakan dari semuanya.

Bagi Kapolres Pamekasan AKBP Teguh Wibowo, HUT Kemerdekaan RI merupakan salah satu momentum tepat untuk mengekplorasi potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah di Indonesia. Selain untuk mensyukuri atas anugerah yang telah diraih bangsa ini melalui jasa-jasa para pahlawan pejuang terdahulu, perayaan menyambut HUT Kemerdekaan RI merupakan media efektif untuk menunjukkan identitas diri dari masing-masing daerah. Sebab pengakuan akan ke-Indonesia-an kelompok atau masyarakat, bukan karena menjadi dan meniru kelompok lain, akan tetapi karena eksis dengan identitas kelompok itu sendiri.

Gapura Batik Sekar jagad
Salah satu potensi keunggulan produk lokal yang dimiliki Kabupaten Pamekasan dan menjadi ikon Pamekasan sebagai kota batik adalah batik tulis Sekar Jagad. Oleh karenanya, saat institusi Polres Pamekasan membangun gapura dalam lomba "Gapura Cinta Negeri" yang digelar dalam rangka memeriahkan HUT Kemerdekaan RI kali ini ialah dengan motif batik tulis Sekar Jagad yang merupakan batik tulis khas Pamekasan.

"Ini kami lakukan dalam rangka berupaya mengangkat potensi lokal yang ada di Pamekasan ini, disamping untuk mendukung program Pemkab Pamekasan dalam mempromosikan hasil kerajikan masyarakat Pamekasan," kata Kapolres Pamekasan AKBP Teguh Wibowo di seperti dilansir media, Sabtu (17/8/2019).

Gapura yang dibangun di pintu masuk halaman Mapolres Pamekasan ini terlihat sangat elegan, dengan perpaduan warna dasar merah dan hijau, sebagai simbol semangat keberanian dan hijau sebagai simbol kualitas sumber daya unggul yang memang menjadi tema pada HUT Kemerdekaan RI kali ini. [Baca Juga: Dinas PUPR Sinergikan dengan Program Pamekasan Cantik]

Di bagian atas gapura terdapat lambang garuda berwarna merah dan putih dengan tulisan 74 "SDM Unggul Indonesia Maju". Sementara pada bagian samping kanan terdapat gapura kecil berbentuk "Monumen Arek Lancor" yang merupakan simbol jantung Kota Pamekasan.

Kapolres AKBP Teguh Wibowo mengatakan, gapura bernuansa batik dengan nilai filosofis perjuangan dan dorongan untuk mewujudkan SDM unggul tersebut diharapkan menjadi spirit akan terwujudnya masa depan Pamekasan yang lebih.

"Melalui simbol gapura yang seperti ini, kami ingin menggugah, bahwa semangat keberagaman, atau nasionalisme memang harus berbasis lokal, karena bangsa ini terbangun dari berbagai jenis keragaman, baik dalam hal keragaman budaya, adat istiadat dan keragaman potensi di masing-masing daerah," katanya, menjelaskan. [Baca Juga: PWI-JTV Diskusikan Persoalan Publik dalam Spektrum Pamekasan]

Kapolres lebih lanjut menjelaskan, pemasangan gapura ini untuk ikut serta memeriahkan dan menyemarakkan HUT Ke-74 Kemerdekaan RI, juga untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan "Festival Gapura Cinta Negeri" yang digelar oleh Polda Jawa Timur.

Selain itu, lomba gapura cinta negeri ini juga digelar di tingkat lokal Pamekasan dan diikuti oleh 13 Polsek yang ada di 13 kecamatan di Kabupaten Pamekasan.

Dalam pandangan kapolres, kemajuan dan kemakmuran bangsa ini akan terwujud, apabila ratusan kelompok etnis dan sebanyak 1.340 suku bangsa yang tersebar dari Sabang sampai Meraoke itu maju. Oleh karenanya, potensi ada di masing-masing daerah harus terus didorong dengan memanfaatkan media promosi yang tersedia dalam berbagai kesempatan, termasuk pada momentum HUT Kemerdekaan RI kali ini. (Pamekasan, 17 Agustus 2019)

Posting Komentar

0 Komentar